
Berawal dari inisiasi dan orientasi kampus yang dilakukan kakak-kakak tingkatanku, aku berkenalan dengan seorang teman gadis bernama Santi. Gadis yang manis, dengan tinggi sekitar 160 cm, berkulit kuning langsat. Waktu itu, aku sangat kasihan kalau melihat ia menerima hukuman yang menurutku sangat dibuat-buat oleh seniorku. Disuruh mencium-lah, meraba, dan push-up di bawah mereka. Akh.. sialan, seribu topan badai! Aku sungguh tidak terima dan biasa gaya sok jagoanku muncul. Kudekati seniorku dan kuhajar dengan beberapa jurus perkenalan dariku. Yah, gini-gini aku cukup menguasai karate dan pencak silat, menyerang dan bertahan, dua hal yang sangat kusenangi. Maklumlah aku suka berkelahi dari kecil.
Beberapa senior pun mulai mengeroyokku. Sambil tentu saja, terjatuh-jatuh menerima tendangan dan libatan tanganku. Apa hendak dikata salah satu senior, yah mungkin ia termasuk pimpinan mahasiswa di kampusku melerai kami dan memberi hukuman pada kami semua. Lari-lari mengitari kampus sambil menyanyi dan menari, dasar!
But never mind, yang terpenting gadis manis itu tidak lagi digoda dan diganggu. Mungkin mereka malu atau takut kalau selesai masa yang harus dilalui mahasiswa baru ini bakal ketemu aku dan bisa benar-benar kuhajar mereka. Bagaimanapun yang lemah harus dibela.

"Hai.., terima kasih yah kemarin kamu menolongku. Gara-gara aku, kamu jadi kena masalah deh." Hey dia menyapaku duluan.
"Ah ndak kok, itu sih urusan kecil buatku", sambil tersenyum kusapa balik.
"Oh, yah kita belum berkenalan kemarin, nama kamu siapa?" Aku bertanya seolah aku belum tahu namanya. Hi.. hi.. padahal aku sudah tahu namanya dari senior-seniorku.
"Santi, kamu?" Duh mak, nih gadis benar-benar manis sekali, senyumnya aah.., apalagi matanya, bulat dengan alis yang tertata rapi berwarna hitam, serasi sekali
"Hey.. kamu kenapa?" Duh ketahuan kalau lagi terpana. Eh, nih anak pakaian dan celananya seksi and ketat sekali, mengundang perhatian cowok, pikirku. Beda sekali denganku, celana jeans belel dengan kemeja panjang kedodoran, potongan rambut pendek cepak dan memakai jam tangan yang besar. Pokoknya aku senang seperti ini, dulu aku terkenal cool di antara teman-teman cowok SMU-ku di Malang.
"Ah.. yah.. namaku Ratna, lengkapnya Dian Ratnasari. Tapi kamu boleh panggil aku apa saja, tapi Ratna lebih nikmat kedengarannya, he.. he.. he." Jadi grogi juga nih.
"Hmm.., kamu tinggal di mana?" tanyaku, siapa tahu kan nanti dia lebih rajin punya catatan, kan bisa kupinjam. Dasar otak nakal dan pemalas. Aku heran juga, dari kecil aku tidak suka belajar tapi aku bisa dengan mudah menerima apa pun dalam otakku. Bukannya sombong tapi yah.., cuma begitu saja.

"Eh, kamu ini lucu juga yah, dari tadi senyum-senyum sendiri hihihi", ia tertawa kecil. Duh maak manisnya temanku ini.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar kegaduhan kecil, ternyata segerombolan cowok-cowok mengganggu dan mempermainkan salah seorang teman kami yang lebih kecil ukurannya dari mereka, mungkin sekitar 155 cm. Oh, yah aku sendiri 172 cm dan beratku 60 kg. Cukup tinggi besar untuk ukuran cewek kali, yah?
Lagi-lagi aku belagak nih, padahal memang tanganku gatal ingin meninju orang, habis sedang gregetan nih sama Santi. Kusambar salah satu cowok dan tendanganku sangat tepat bersarang di bawah perutnya, yah si-xx, tahu temannya menjerit, mereka berhenti dan memandangku. Ada kemarahan di wajah mereka, namun aku tidak tahu kenapa, mereka langsung ngeloyor pergi sambil membantu temannya berjalan. Akh, aku puas juga. Sejak saat itu, aku cukup disegani di kampusku, mungkin juga mereka telah membaca biodataku di buku tahunan.
Kembali menjajari Santi, aku bertanya lagi, "Eh, di mana rumah kamu?".
Dia tersenyum, "Kamu masih inget dengan pertanyaanmu setelah berkelahi barusan?", berkata begitu, tangannya menempel di pundakku dan turun menggandeng tanganku.
"Yah, sekali lagi, itu hal kecil buatku, habisnya mereka seenaknya mengganggu orang lain", gumamku sambil menikmati sentuhan alami lengan dan jari-jari kami yang saling mengait.
"Ah, sudahlah, jangan dibicarakan lagi".
Bosan juga aku, kan aku pingin tahu tentang anak satu ini eh, malah melenceng dari pokoknya.
"Aku tinggal di Taman Sari", jawabnya. Akhirnya meluncur juga jawabannya.
"Tinggal dengan siapa?", tanyaku agak bingung, maklum sendirian sih aku.

"hh, boleh main nih, aku bosan sendirian di rumah", timpalku.
"Aksen kamu sepertinya bukan dari sini, kalau aku dari sekitar sini juga sih, kamu bukan orang sini, kan?", Ia balik bertanya padaku. "Iyah, aku bukan orang sini, tapi aku tinggal di rumah pamanku, sekalian jaga rumahnya."
Kuliah pertamaku dimulai, akh bosan rasanya. Tanpa sengaja tanganku merangkul kursi sebelah dan menempel di punggung Santi. Antara sadar dan tidak, maklum mengantuk, aku seperti merasakan gesekan halus di tangan kananku. Jantungku berdesir dan mulai berdegup kencang.
Aku duduk dengan gelisah, akh dia mempermainkan nafsuku. Aduh bisa pening aku dibuatnya. Aku berdoa, semoga kuliah ini cepat selesai. Dengan sedikit keberanianku, Iih.., aku takut kalau ketahuan teman lain. Telapak tangan kananku mulai meraba dan meremas bahu dan terus turun ke punggung, pinggang, dan berhenti di antara dua kantong saku di belakang jeansnya. Ia mulai menggoyang pantatnya, geser depan-belakang, kanan-kiri. Kuremas salah satu pantatnya yang muat juga di tanganku. Hehehe ternyata cukup kecil, tapi kenyal, dan enaak sekali. Nafasku pun memburu dengan cepat. Akhh lamanya kuliah ini.
Akhirnya, kuliah selesai juga. Permainan kami pun berhenti. Aku tersenyum dan ia pun membalas senyumku dan mengajakku ke belakang (toilet wanita). Duh, gila juga Santi, apa orang sini berani-berani yah. Tanpa ba-bi-bu kuikuti langkahnya dan pokoknya kami sudah ada di dalam. Cukup sepi, karena terhitung masih pagi, belum ada yang ke belakang. Aku bersyukur juga. Lagian yang namanya makhluk berjenis kelamin perempuan tidak begitu banyak. Aku pikir-pikir cukuplah bermain 15 menit.
Aku duduk di closet dan dia kupangku. Kepalanya tepat di hadapanku. Kami hanya berjarak berapa inchi saja. Nafasnya yang hangat menyapu wajahku. Hidungnya yang agak mancung, ia gesek-gesekkan di hidungku, ih geli juga. Aku tidak tahan.
"Hey, I can lift you", sambil tersenyum ia berkata.
"Aku cuman 48 kok, San", sambil melingkarkan lengannya di leherku. Kugendong ia dan aku duduk kembali. Ia tertawa lirih.

Akh, lepas juga kepalaku setelah itu ia menjerit pelan, kaget juga aku, kenapa dia? Baru sekali ini aku melakukan permainan kait-mengait. Apalagi dengan seorang gadis. Eeh, apa dia masih gadis? Entar kutanya, tapi mataku sempat melirik jam tanganku dan aku mengerti permainan ini harus ditunda, ada kuliah lagi.
.jpg)
"Entar lagi, yah", kataku, ia tersenyum.
"Makasih, Yan".
Kutepuk-tepuk pantatnya dan segera kuputuskan.
"San.., kamu mau pindah ke rumahku?", tanpa pikir panjang juga ia mengangguk. Kuturunkan dia dan aku merasa CD-ku seperti lembab dan lengket.
"San, entar dulu yah", sambil kubuka retsluiting celanaku dan kuraba yang di balik CD-ku yaitu selangkanganku. Jariku basah seperti ada jelly. Ada apa nih? Seketika kubuka agak lebar dan aku melongok untuk melihatnya lebih jelas. Santi meraih jariku yang basah dan menghirup serta menjilatinya, "Enak, asin, gurih, harum selangit!" terpana aku melihat mulutnya yang bergetar ketika menggumamkan kata-kata itu.

Eh, seakan ia tahu apa yang kupikir, ia berhenti dan hanya menggigit bibirnya. Aku tidak tahan, kulumat lagi bibirnya dan kubuka pelan dengan mulutku, dan kami berpagutan lagi. Lidahku dan lidahnya berkaitan dan lama. Matanya terpejam dan akh.., aku menemukan daging kecil di dalam, jariku menerobos dan mulai masuk sedikit.
Tiba-tiba meluncur pertanyaan di otakku, refleks kukatakan padanya, "San, kamu pernah melakukan beginian?".
Ia menjawab pelan, "Belum, Yan.., baru sama kamu."
"Jadi kamu masih gadis, masih punya selaput?", kataku.
"Iya, masih. Pelan aja Yan entar sakit."
"Maaf, San. Lebih baik nggak sekarang, ada kuliah kan."
Kulihat Santi kecewa, tapi demi amannya saja sih, padahal sungguh aku bodoh sekali pelajaran biologi, jadi aku tidak tahu berapa jarak selaput itu dari luar vagina. Kutarik jariku dan ia pun menjilatinya sampai bersih. Ok, entar lagi. Nikmat juga jilatannya.
.jpg)
Tiap malam ia membuatkan aku susu kegemaranku. Saat aku asyik duduk di komputer sedang online atau mengerjakan tugas, Santi menghampiriku dan menempel di punggungku. Hal ini sangat kusukai dan Santi tahu itu. Aku merasakan lekukan bibir kemaluannya, bukitnya dan ia menempelkannya, merenggangkannya akhh.., mengaduk-aduk emosiku. Segera aku membalikkan badanku. Kurengkuh tubuhnya dan kukempit kakinya dengan kedua pahaku yang kuat, kadang Santi meronta dan aku pun melepaskannya, biasa kami berlarian seperti dua orang kakak beradik bermain kejar dan tangkap. Aku sungguh menyukai permainan ini. Kadang Santi tiba-tiba mengerem dan membalikkan tubuhnya dan tentu saja aku menubruknya dan jatuh bersama bergulingan saling menindih. Nafas kami yang tak beraturan karena berlari-lari saling memburu dengan kecupan-kecupan yang semakin menambah ketidakberaturannya nafas kami. Buah dada kami saling menggesek dan, "Berat ah.. Yan", aku lalu dengan sigap ganti posisi di bawah, dan ia menyeringai puas karena Santi sangat tahu aku sangat menyayanginya dan tidak mau ia merasa sakit atau apapun. Dan mau tahu apa yang ia lakukan tiap itu terjadi? Santi mengambil susu itu dan menuangkannya di vaginanya dan aku menjilatinya hingga kepuasan yang amat sangat pada kami berdua. Coba saja deh atau kalau siang bisa saja pakai es sirup, dengan dingin yang mengalir pelan rasakan.

Santi sangat akrab dengan keluargaku, begitu juga aku. Keluarganya dan keluargaku telah saling mengenal dan tidak mempermasalahkan hubungan kami. Aku bungsu dari empat bersaudara, kupunya 1 orang kakak laki-laki dan 2 kakak perempuan sedangkan Santi sulung dari tiga bersaudara, 1 orang adik perempuan dan 1 orang adik laki-laki. Kemana pun kami selalu berdua, ke supermarket beli bahan kebutuhan sehari-hari, ke mall untuk cari pakaian atau keperluan lain, ke toko-toko buku, ke bioskop buat nonton, dan lain-lain kecuali kalau aku dan ia sedang memiliki aktivitas yang berbeda. Aku senang berorganisasi dan berolah raga sedangkan ia suka melukis dan bermain musik.
Dini hari saat fajar tiba, sambil tidur aku selalu merasakan sesuatu yang berdenyut di bawah dan refleks aku menempel lekat ke tubuhnya, entah itu punggung dengan sentuhan pantat hangatnya atau langsung perut dengan bukit kembar dan selangkangan yang mengaitku. Santi mengerti kebiasaanku di setiap fajar dini hari dan kami pun saling menggesek.
Sekali merengkuh tubuhnya, ia jatuh menindihku dan berbaring tiduran di tubuhku. Enak katanya, merasakan pelukanku yang hangat, maklum kota ini lumayan dingin. Pokoknya kami melakukan itu kapan saja. Tidak ada bosan-bosannya, soalnya kami mulai ahli sih. Kami mengubah posisi setiap kali mulai bosan dan yahud juga!
.jpg)
Kalau di dapur saat ia memasak aku merengkuhnya dan mengecup lembut lehernya serasa kami sepasang suami istri selayaknya, mendudukkannya di meja dan biasa aku rentangkan kedua paha itu dan mulai mencumbuinya, kubuka celanaku dan kugesekkan CD-ku ke CD-nya. Enak lho. Kalau kami bermain di kamar mandi, yah seperti dua anak kecil yang berteriak-teriak kegirangan saling menyiram tempat-tempat sensitif yang sudah sangat kami hapal sambil menciumi tempat-tempat itu. Bath-up yang sudah mulai terisi dengan busa sabun kuoleskan ke seluruh tubuhnya, terutama di-xx-nya, pelan karena aku takut kalau ada apa-apa. Santi senang sekali telentang di atas tubuhku, "Nyaman, Yan?" katanya sambil mencari di mana pinggangku. Kupeluk erat ia, kurasakan gunungku menekan punggungnya dan satu hal aku nggak senang posisi ketika ia membalikkan badannya tepat ke arahku (di bath-up). Pernah ia coba dan aku tidak enjoy melihat kesulitannya mencumbuiku.
.jpg)
Pernah suatu ketika aku berkonsultasi ke seorang ahli dan beliaunya menjawab kalau aku sebenarnya termasuk transexsual, berjiwa dan bertingkah laku laki-laki namun tubuh wanita, jadinya setengah-setengah dengan hormon yang lebih banyak jenis laki-laki. Yang umum sih salah satu lebih besar dan mengikuti hormon kelaminnya. Kalau aku mau, kata beliaunya bisa saja bedah kelamin. Tapi biaya yang dikeluarkan pun sangat besar. Yah, sudahlah aku seperti ini saja. Dan selama ini Santi selalu mendampingiku entah sampai kapan. Sudah dua tahun ini aku nyambi bekerja di kontraktor dan aku menikmatinya. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku sebenarnya sanggup menghidupi kami berdua dengan 3 orang sekaligus, misalnya. Mungkin selesai kuliah ini, selesai semuanya. Aku pernah tanyakan kepadanya dan ia hanya tersenyum saja. Ia berkata "Yan, jangan pikir sekarang, apa yang terjadi besok adalah misteri bagi kita semua, kecuali hal-hal yang telah kita persiapkan", dan kalian tahu sampai saat ini aku belum tahu apa maksud dari perkataannya.
Tamat