.jpg)
Ruang kerjaku terletak di lantai 4 di gedung milik perusahaanku. Gedung yang cukup besar karena sekaligus menjadi satu dengan tempat percetakan dan penerbitan. Ruang kerjaku tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil. Cukuplah bagiku untuk bisa melakukan senam-senam kecil di siang hari. Oh iya, itu merupakan salah satu kebiasaanku untuk menghilangkan penat dan merenggangkan otot. Kebiasaan itu terbukti cukup sukses mengurangi stress dalam bekerja.
"Tok.. tok.. tok.."
Terdengar ketukan dan sesaat kemudian seraut wajah muncul dari balik daun pintu itu.
"Hai.. good morning Sar," ucapan itu muncul dari wajah ganteng milik Hendra asistenku.
"Eh.. pagi Hen," jawabku.
"Wah gimana Sar.. masih 'hangover'?" Hendra bertanya sambil melangkah duduk di depan mejaku.
"Thank God nggak tuh.. tadi waktu bangun tidur sih sempet agak pusing tapi sekarang udah nggak lagi tuh."
Hendra semalam yang terpaksa mengantarku pulang karena aku sudah terlalu "Hii" buat mengemudi.
"Sungguh.. aku baru kali itu liat kamu mabuk Sar," ujarnya sambil sebuah map berisi beberapa berkas yang harus kuperiksa.
"Oh ya.. aku juga nggak tau tuh bisa kebablasan minum gitu," aku menjawab dengan enteng sambil membaca berkas-berkas yang disodorkannya.

Hendra memang ganteng, tapi cara bicara dia yang halus bahkan cenderung kemayu makin membuatku tidak risih dengannya. Kalau bisa dibandingkan, gaya bicara dan tindak tanduknya mirip Syahrul Gunawan bintang sinetron yang kemayu itu. Malahan dalam urusan gosip dia menjadi trend setter di kantorku. Apabila terlihat kerumunan ibu-ibu saat jam makan siang dan suasananya riuh, dapat dipastikan kalau Hendra berada di tengah-tengahnya sedang memberikan laporan up to date-nya tentang gosip hari itu.
"Hen, bagaimana tentang nanti siang? Jam berapa Pak Faisal datang?" tanyaku.
Pak Faisal itu adalah suplier yang akan kutemui siang ini.
"Oh iya.. dia datang setelah jam makan siang."
"Tadi sekretarisnya sudah confirm ke sini," ujarnya lagi menambahkan.
"Eh tau nggak Sar tentang desas-desus Mbak Diana dengan si Nina resepsionis itu?" kata Hendra mulai dengan nada "rumpi"-nya.
Memang akhir-akhir ini di kalangan karyawan di sini tersebar isu yang mengatakan kalau Diana teman kantorku dari bagian finance yang semalam berulang tahun itu seorang lines dan memiliki "affair" dengan Nina resepsionis baru kantorku.
"Ah masa sih.. Diana khan udah punya suami," aku menimpali sambil membereskan beberapa pekerjaanku.
Sebetulnya aku tidak suka ngomongin sesama teman. Apalagi gosipnya termasuk dalam kategori yang aku sukai seperti itu.
"Tapi kayaknya benar tuh.. akhir-akhir ini mereka suka keluar makan siang berdua dan selalu nggak mau gabung kalau diajak makan bareng sama yang lain."

"Ada lagi yang lebih parah Sar."
Melihat ekspresi Hendra yang serius aku jadi mulai penasaran akan ceritanya.
"Parah gimana?" tanyaku sambil ikut-ikutan merendahkan nada suaraku.
"Si tikus kejepit Bramanto.. pernah liat mereka berdua kiss-kissan sambil pegang-pegangan di toilet?"
Wah, seruku dalam hati. Gosip sih gosip, tapi kalau ternyata memang betul?
"Pervert banget dong.. si Bramanto ngomong bener tuh?"
Kini aku benar-benar tertarik. Tak dapat terbayangkan olehku kalau di kantor ini telah terjadi hal-hal yang betul-betul "kinky" itu. Bisa-bisa aku tambah betah di sini.
"Aku sih percaya omongan dia, lagi pula kamu nggak tau yah kalo semalam Mbak Diana tuh pulangnya bareng Nina. Lagian baru kali ini khan anak resepsionis yang masih baru udah diundang acara-acara luaran kita," katanya lagi.
Wah aku tidak sanggup meneruskan bayanganku tentang hubungan mereka itu.
"Ah that's enough Hen.. aku sih mending diam ajalah.. kecuali benar-benar ngeliat di depan mata kepala sendiri," kataku, ingin segera menyudahi pembicaraan ini karena aku merasa bersalah sudah membayangkan Diana melakukan perbuatan itu.
"Ok, ok terserah kamu deh Sar, moga-moga juga gosip itu nggak bener semua, aku cerita ke kamu aja sih soalnya khan kamu termasuk dekat sama Mbak Diana."
Kalimat Hendra seakan mencari pembenaran bagi ke-"ember"-annya itu.
"Knock it off.. will u.." kataku sambil bercanda dan mengibaskan tanganku seakan aku tidak begitu tertarik dengan gosip itu.
"I think we better back to work. Ndra tolong kamu siapkan berkas penawaran dari suplier sebelumnya and I want it on my desk before lunch time."
"Ok deh Mam, eh kamu mau lunch bareng nggak nanti?" Hendra bertanya sambil melangkah menuju pintu.
"Mmm.. aku mau makan siang di sini aja.. thanks buat ajakannya," jawabku.
"Snip!" Hendra membalas dengan menjentikan jarinya lalu jari telunjuknya mengarah padaku lalu dengan gaya kartunnya yang agak ngeselin dia mengedipkan matanya sambil berucap,
"See u then."
Grown up man! itu yang terucap dalam hatiku melihat tingkah Hendra yang kadang masih kekanakan. Anyway, kalau tidak ada dia aku kesepian juga sih, soalnya dia orangnya easy goingdan asyik saja (kecuali kalau kami lagi serius kerja). Geli juga sih membayangkan bagaimana kelakuan dia di rumah. Kan dia sudah berkeluarga. Gimana cara istrinya menghadapi sifat "rumpi" dan childish suaminya itu?
Sore itu selepas jam kantor aku masih saja berada di ruang kerjaku. Seperti biasa aku membereskan semua sisa pekerjaanku sekaligus semacam evaluasi pribadi akan kinerjaku hari itu. Itu merupakan salah satu kebiasaanku karena aku tidak mau ada sesuatu yang tercecer atau tertinggal hingga membuatku repot di hari berikutnya. Dan seperti biasanya suasana lalulintas di depan kantorku sangat padat (tidak cuma di depan kantorku sih, di Jakarta memang dimana-mana padat kalau jam pulang kantor). Biasanya aku suka mampir di "Playan" yang kebetulan dekat dengan kantorku dan bersama beberapa rekan kantor "hangout" di Kafe Wien sampai keadaan jalan mulai lenggang baru pulang. Tapi saat itu aku malas beranjak keluar kantor dan iseng browsing di internet sambil minum Capucino. 20 menit kemudian aku merasa harus segera ke toilet dan seperti biasa aku suka menggunakan toilet yang terletak di bagian direksi. Alasanku adalah karena toilet wanita di sana lebih jarang digunakan karena biasa hanya digunakan oleh tamu direksi yang wanita dan para sekretaris direksi saja (lagipula para direksinya adalah pria semuanya).
Aku melintasi ruang kantor utama yang sudah kosong menuju ke bagian selatan lantai 4 ini. Di bagian direksi sebagian besar lampu sudah dipadamkan sehingga hanya lampu-lampu di koridor saja yang masih tetap menyala. Sebenarnya suasana temaram dan sepi ini agak menyeramkan tapi karena sudah empat tahun bekerja di sini aku sudah familiar dengan suasana gedung ini. Lagipula di lantai satu dan dua di bagian produksi kegiatan tetap berlangsung dan masih ramai dengan pekerja. Aku memasuki toilet wanita yang terletak di tempat paling ujung bagian direksi. Lampunya masih menyala dan tanpa ragu aku melangkah masuk ke dalamnya. Begitu memasuki toilet aku langsung melewati jajaran wastafel di kedua sisi dengan cermin sepanjang dinding kedua sisinya. Ada empat bilik toilet di dalamnya. Di pintu masuk dua bilik pertama tergantung sign "RUSAK/DALAM PERBAIKAN" sehingga aku memasuki pintu ketiga. Ketika aku sedang duduk di toilet itu ada perasaan aneh yang muncul. Perasaan yang mengatakan kalau aku tidak sendiri di ruangan ini. Insting-ku seperti merasakan kehadiran orang lain di ruangan ini. Aku segera mengusir perasaan itu jauh-jauh dan segera setelah selesai buang air kecil aku segera membersihkan diri (tentunya flushing the toilet juga) lalu ingin segera meninggalkan ruangan yang mulai "spooky" itu.

Dan apa yang kulihat benar-benar membuat kedua lututku gemetar kesenangan. Diana dan Nina si resepsionis sedang bergelut penuh nafsu birahi. Kulihat bibir keduanya saling menempel erat dan desah nafas mereka berdua terdengar keras memenuhi ruangan itu. Perasaan antara ingin turut ambil bagian dan shock menyelimutiku menyaksikan dua orang wanita yang kukenal melakukan hubungan sejenis di depan mataku. Diana terlihat lebih mendominasi "pergumulan" itu sedangkan Nina lebih tampak sebagai objek pemuas. Tangan Diana tampak begitu rakus dan liar menjelajahi setiap lekuk tubuh Nina. Dua pasang tangan yang halus dan lentik terlihat tergesa-gesa saling mencopot pakaian bagian atas pasangan masing-masing. Sepasang bibir yang sama-sama mengenakan lipstik tampak sangat tidak wajar saling menempel lekat seperti itu. Bahkan bayanganku tentang hubungan lesbian selama ini tidak se-"seram" kenyataan yang terlihat gamblang di depan mataku.
Saling bergantian kedua wanita itu melepaskan nafsu mereka, meremas dan kemudian menghisap, menjilat (etc.. etc segala jenisnya) payudara pasangannya. Kemudian tubuh Nina yang langsing itu tampak beranjak duduk di atas wastafel. Diana dengan sigap menarik celana dalam pasangannya sampai lepas hingga tersangkut di sebelah kakinya lalu melakukan oral. WOW!! Tubuh Diana dalam posisi berlutut. Kepalanya tepat berada di antara paha milik Nina yang kadang-kadang menutup mengejang menahan geli. Kuperhatikan wajah Nina yang sangat "ekspresif" menterjemahkan tiap kenikmatan yang dirasakannya. Matanya yang sayu terbius kenikmatan kadang agak mendelik dan kadang terpejam dalam waktu lama seiring gelombang kenikmatan yang datang menerpanya bagaikan ombak memecah pantai silih berganti. Kedua telapak tangannya yang halus itupun seperti mengikuti irama yang sama dengan ekspresi wajahnya menjelajahi tiap bagian dadanya sendiri. Terkadang tangannya membelai, kadang seperti menggaruk dan memelintir kedua ujung payudaranya sendiri. Dia menikmati itu semua serasa dia hanya sendiri di ruangan ini. Kedua pasangan itu tampak seperti menikmati permainan mereka dengan cara sendiri-sendiri. Kurasakan detak jantungku kian berdentang kencang dan nafasku kian berat. Lambat tapi pasti fantasi memenuhi kepalaku.
Diana dan Nina duduk bersandar pada cermin di atas wastafel. Kini giliran Nina yang gencar mencumbui leher Diana yang tampak mengkilat bersimbah peluh. Keduanya menggenggam dildo masing-masing dengan pegangan yang begitu mesra serasa seperti memegang sasuatu yang lain. Sesuatu yang dengan jelas dan eksplisit direpresentasikan oleh bentuk dildo itu. Sekitar 10 menit kemudian ruangan toilet itu dipenuhi suara nafas dan lenguh kenikmatan tatkala sepasang wanita cantik itu mulai menggunakan "mainan" mereka sesuai dengan kegunaannya. Kakiku mulai terasa letih disaat Diana dan Nina mulai melenguh panjang dengan nafas yang menderu saling bersahutan. Makin liar mereka memainkan dildo di tangan mereka yang tersembunyi di dalam rok kerja mereka. Jelas terlihat guratan kenikmatan memenuhi ekspresi Diana. Sedangkan wajah Nina terlihat mulai blushing, merah padam. Sedetik kemudian tubuh mereka berdua mengejang menahan derasnya orgasme yang jelas terlihat menyelimuti getaran tubuh mereka berdua. Mereka bagai hendak menghujamkan dildo itu sampai tertelan semuanya dalam kewanitaan mereka dan tangan mereka yang bebas saling menggenggam erat. Begitu eratnya sehingga baru terlepas perlahan sesaat setelah desahan nafas kenikmatan terakhir mereka berlalu.

Kejadian itu terus kuingat dan aku sengaja tidak keluar untuk bermain threesome dengan mereka karena aku akan menggunakannya supaya aku dapat merasakan manisnya kemaluan mereka berdua (yang aku akhirnya rasakan) tapi nanti akan aku ceritakan pada para pembaca Rumahseks sekalian.
TAMAT