
Bandung 11 Oktober 2000, 09.15 WIB
Mini jeep yang saya kemudikan meluncur mulus ke pelataran parkir hotel P, sebuah hotel berbintang 5 yang terletak di jalan Asia Afrika. Sebagai anak kost yang sehari-hari harus prihatin, sebenarnya apa urusannya saya harus datang ke hotel semewah ini?
Sebelumnya ijinkanlah saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Ryo, 23 m Bdg (come on chatters, you should know this code). Saya kuliah di sebuah fakultas teknik yang sering disebut sebagai fakultas ekonominya teknik, karena banyaknya mata kuliah ekonomi yang bertebaran dalam kurikulumnya, di sebuah perguruan tinggi yang cukup ternama di kota ini. Tapi syukurlah beberapa waktu yang lalu saya telah lulus dan diwisuda menjadi seorang Insinyur, but for now, I'm only an unemployment.

"Maaf Mbak, kalo ruang rekruitmen dimana yah?" tanya saya kepada seorang resepsionis yang bertugas di front office sambil menyebutkan nama perusahaan tersebut.
"Oh.. naik aja lewat tangga itu dan belok ke kanan," jelasnya sambil menunjukkan tangga yang dimaksud.
Setelah mengucapkan terima kasih, saya pun bergegas menuju ruang recruitment. Hmm.. masih sepi nih, maklum jadwalnya jam 10 pagi sedangkan ketika saya melirik jam tangan saya baru menunjukkan pukul 09.22 WIB. Setelah mengisi daftar hadir dan mengambil formulir data diri, saya menghempaskan diri di sebuah sofa empuk di pelataran ruangan tersebut.

Setelah acara basa-basi formal, tepat jam 10 tes dimulai. 1 jam 45 menit yang dibutuhkan Mbak Tia untuk memandu dan mengawasi jalannya psikotest ini, sedangkan Mbak Rini entah menghilang kemana. Tepat jam 11.45 WIB kami diusir ke luar ruangan menikmati coffee break untuk 30 menit kemudian diumumkan orang-orang yang lulus psikotest dan menghadapi interview. Dari 200-an pelamar, hanya 40 yang dipanggil psikotest dan hanya 20 yang dipanggil interview, untuk selanjutnya terserah berapa orang yang akan diterima.
Ternyata nama saya tercantum dalam daftar peserta yang lulus psikotest, so I have to stay longer to join an interview. Interview will be done in english, so I have to prepare myself. But it's only my first experience, so what the hell..! Saya berusaha cuek dan rileks saja menghadapinya, masa bodoh teuing lah kata orang sini.

"That's all Ryo, thank you for joining this recruitment. We will contact you in two weeks from now by mail or phone," kata Mbak Tia mengakhiri pembicaraan.
"The pleasure is mine," jawab saya pendek sambil berbalik menuju pintu.
"Ryo, why do you look so confident today? The others don't look like you," tiba-tiba Mbak Tia berbicara lagi kepada saya.
"I just try to be myself, no need to pretend being someone else," jawab saya sambil bingung, sebenarnya apa yang telah saya lakukan sih sampai dia menilai saya seperti itu?
"Cool, I like your style," sambung Mbak Tia lagi.
"I like your style too," jawab saya (pura-pura) cuek.
"Tia, I like to talk with you, maybe some other day we can talk more. May I have your number?" sambung saya lagi.
Asli sudah cuek sekali, tidak ada malu-malunya lagi.

Bandung, same day at 18.04 WIB
Saya lagi termenung di kamar kost di depan komputer menyesali kekalahan kesebelasan saya dalam game Championship Manager 4. Sialan.. menyerang habis-habisan kok malah kalah yah, pikir saya sambil menatap statistik permainan. Tiba-tiba.. krriinngg, teleponku berbunyi mengagetkanku karena memang dipasang pada volume penuh. Di LCD terpampang nomor telepon asing (maksudnya belum ada di memori). Langsung saya jawab,
"Hallo.."
"Hallo.. ini Ryo?" terdengar sebuah suara wanita di seberang telepon.
"Iya, ini Ryo," jawab saya.
Sejenak saya terganggu koneksi telepon yang kresek-kresek, payah juga nih jaringan 0816 prabayar wilayah sini. Ternyata itu telepon dari Mbak Tia. Dia sih ngakunya cuma iseng saja men-check nomor saya.
Setelah ngobrol sebentar, saya bertanya,
"Mbak, banyak kerjaan tidak?"
"Kenapa nanya, mau ngajak jalan-jalan yah?" jawab Mbak Tia disusul suara tertawanya yang ramah.
"Boleh, siapa takut..?" balas saya sambil senyum iseng (untung dia tidak bisa lihat senyum saya).
"tidak kok udah selesai semua, free as a bird," katanya lagi sambil mengutip sebuah judul lagu The Beatles (atau John Lennon? ah masa bodoh teuing lah).

"Hi Mbak, look so nice," kata saya sambil sedikit memuji penampilannya yang memang out of mind itu.
"Thanks, you too," jawabnya lagi sambil tersenyum.
Tapi kali ini kesan senyumnya jauh dari resmi, seperti senyum kepada seorang teman lama.
Kami langsung berangkat. Karena Mbak Tia meminta untuk tidak makan berat, akhirnya saya membawanya ke LV kafe, sebuah resto dengan pemandangan kota yang bagus sekali di bilangan Dago Pakar. Kalau sudah malam, kelihatan indahnya warna-warni lampu kota Bandung dari situ. Many times I've been there, but still never get bored. Temaramnya cahaya lampu resto, jilatan lidah api dari lilin di meja dan kerlap-kerlipnya lampu kota Bandung di bawah sana tidak mampu menutupi kecantikan yang terpancar dari seorang Tia, wanita yang baru saya kenal dalam beberapa jam saja. Kalau dilihat dari face-nya sih tidak cantik-cantik banget, tapi gayanya yang ramah, wawasannya yang luas dan obrolannya yang menguasai banyak hal, membuat penampilannya begitu chic dan smart. Daripada dengan wanita cakep dan seksi serta mampu mengeksploitasi penampilannya semaksimal mungkin, tapi kalau diajak ngomong tidak pernah nyambung dan otaknya isinya cuma kosmetik dengan toko baju atau factory outlet saja sih jauh sekali, bagusan Tia kemana-mana. Pokoknya smart-lah, saya jadi teringat Ira Koesno, seorang presenter TV favorit saya, yang walaupun tidak terlalu cantik tapi mampu memikat karena gayanya yang smart itu.
Mbak Tia (dan pada kesempatan ini dia minta saya cukup memanggilnya dengan hanya menyebut namanya saja, tanpa embel-embel Mbak di depannya) memesan lasagna, biar tidak terlalu kenyang katanya. Ternyata city view Bandung masih kalah dengan view yang ada di depan saya sekarang. Asyik sekali melihat Tia menikmati sedikit demi sedikit makanannya. Ada suatu momen yang bagus sekali saat tiba-tiba dia mendongak, mengibaskan rambut sebahunya dan menatap saya sambil berkata, "Lho kok malah tidak makan?" Hhmm.. asli sumpah bagus banget angle-nya. Saya pernah ikut kegiatan fotografi saat di bangku sekolah dulu, jadi mungkin inilah yang disebut dengan angle terbaik. Ada beberapa saat (mungkin sepersekian detik) dimana seseorang dapat terlihat sangat tampan atau sangat cantik dan saya baru menikmatinya beberapa detik yang lalu.

"Ah tidak kok, cuma lagi inget-inget aja tadi taruh kunci kost dimana?" jawab saya sambil mencoba berbohong.
Kalau dia sampai tahu saya mengagumi pemandangan tentang dia, wah bisa jadi tidak enak suasananya.
"Ooohh.." sahutnya pendek, entah tahu saya berbohong atau tidak.
Terus terang saya selalu rada takut menghadapi alumni-alumni fakultas psikologi, takut-takut pikiran saya bisa dibaca mereka, hahahaha.
Lalu kami terlibat perbincangan yang hangat sambil menikmati makanan. Ada beberapa sisi baru yang saya kenal dari seorang Tia malam itu. Desember nanti usianya 26, termasuk muda untuk seorang angkatan 1992. Anak kedua dari 3 bersaudara, kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal di Jakarta, sedangkan adik laki-lakinya sedang kuliah di sebuah PTS yang ternama di bilangan Grogol, Jakarta dan terkenal saat-saat perjuangan reformasi mahasiswa media 1998 lalu. Dia pernah hampir saja menikah pada awal tahun ini, namun sesuatu terjadi (Tia mengistilahkan dengan something happened in the way to heaven, mirip sama judul lagunya Led Zeppelin 20-an tahun yang lalu), kekasihnya ternyata menikahi wanita lain yang telanjur dihamilinya. Tia menyebutkan itulah resikonya pacaran jarak jauh, ternyata seseorang mampu menggantikan tempatnya di hati kekasihnya yang bekerja di kota tersebut. Ah.. manusia, cerita tentang kehidupan mereka memang sangat beragam.

"So Ryo, why are you still alone 'till now?" tiba-tiba Tia mengubah topik pembicaraan.
Lho kok.. malah ngomongin saya sekarang?
"Ah tidak ada yang mau sama saya, hehehe.." jawab saya sekenanya sambil becanda.
"Bohong banget, mau tinggi-in mutu yah?" todong Tia.
"Hahaha ketahuan deh saya," jawab saya lagi sambil cengar-cengir.
"Boleh Tia ngomong tentang penilaian Tia ke kamu?" katanya tiba-tiba.
"Sok, silakan, mangga.."
Dan mulailah Tia mengutarakan penilaiannya tentang saya. Yang bikin saya kaget ternyata dia bisa tahu pikiran-pikiran saya yang cuma ada di hati, bahkan tidak ada di otak sekalipun. Dia bilang kalau dibalik penampilan saya yang selalu tertawa dan becanda melulu, pernah ada sesuatu yang sangat melukai saya di masa lalu, dan itu sangat mungkin berkaitan dengan wanita, mengingat hingga sekarang saya masih sendiri. Ah.. saya jadi teringat masa lalu saya yang berhasil ditebak dengan jitu oleh Tia (katanya semudah membaca buku yang terbuka, sialan..!). Dimana sekarang beradanya si "love of my life" itu, beberapa wanita memang sempat menggantikannya, tapi tidak ada yang benar-benar dapat menggantikannya, hehehe.. kok jadi sentimentil begini, ini kan cerita, hahahaha.

".. and baby I.., I've tried to forget you but the light on your eyes still.. shine.. you shine like an angel spirit that won't let me go.."
Lagu Angel yang dinyanyikan Jon Secada makin menghanyutkan saya dalam lamunan. Sampai akhirnya..
"Bagus yah Ryo, pemandangannya.." tegur Tia membuyarkan pikiran kosongku.
"Yup, saya selalu suka city wiew seperti ini," jawab saya sekenanya, biar tidak dikira melamun.
Malam semakin larut ketika kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Kami semakin dekat satu sama lain, saling curhat selama perjalanan di mobil. Bercanda, tertawa-an bareng. Why do I feel that everything seems so right when we're together? Ah mungkin saya aja yang terlalu terbawa suasana. Waktu menunjukkan sekitar pukul 11 malam ketika kami kembali menginjakkan kaki di lobby hotel.
"Ryo, mau nemenin ngobrol sebentar tidak?" tanya Tia tiba-tiba.
"Boleh aja, emang belum ngantuk?" tanyaku balik.
"Tidak, lagipula kalau di tempat yang asing Tia jadi susah tidur," katanya memberi reasoning.

"Lha kamu sendiri di sini?" tanya saya begitu melihat tidak seorang pun di kamarnya.
"Sebenernya kamar ini untuk berdua, dengan Rini, itu lho yang tadi pagi ikut tes juga," jelasnya.
"Tapi dia langsung pulang Jakarta pake kereta terakhir tadi sore, katanya besok mau ada acara apa gitu di keluarganya."
Kami memasak air dengan menggunakan ketel elektrik yang disediakan hotel untuk kemudian masing-masing menikmati secangkir coffemix panas. Kursi sengaja kami balikkan menghadap ke jendela, untuk memandang Jalan Tamblong yang telah temaram dan senyap. Sesekali terlihat mobil melintas dengan kecepatan di atas rata-rata, mungkin karena sudah malam. Begitupun suasana di kamar ini, hanya suara MTV Asia dari TV yang dihidupkan yang menemani perbincangan kami, menggantikan cahaya lampu yang memang kami padamkan. Entah mengapa, saya merasa begitu dekat dengan Tia, padahal baru beberapa jam kami berkenalan. Ah sekali lagi, mungkin saya terlalu terbawa suasana.
Namun kali ini ternyata Tia yang duduk di sebelah saya bukanlah seperti Tia yang saya kenal dalam jam-jam terdahulu. Dalam curhatnya, ia terlihat sangat rapuh. Entah memang nasib saya untuk selalu menjadi tempat curhat orang lain. Dari dulu semasa di bangku sekolah hingga kini setelah menamatkan pendidikan tinggi, saya selalu dijadikan tempat curhat orang-orang dalam lingkaran terdekat saya. Dan kini saya harus menghadapi Tia yang sesekali sesunggukkan, meremas-remas sapu tangannya dan menghapus air matanya yang mulai jatuh satu persatu. Love.. look what you have done to her, bastard..!

Setelah beberapa waktu kami membahasnya, Tia terlihat sudah agak tenang.
"Thanks Ryo, kamu mau jadi tempat sampah Tia," katanya sambil sedikit tersenyum.
"That what friends are for," jawab saya singkat sambil menepuk-nepuk kepalanya seperti kepada seorang anak kecil, padahal dia 3 tahun lebih tua daripada saya, hehehe.. pamali tau..!
Saya duduk lesehan di karpet bersandarkan pada tepi ranjang sambil meluruskan kaki. Hhmm.. enak juga duduk posisi seperti ini. Tidak berapa lama kemudian Tia menyusul turun dari kursi dan bergabung duduk dengan posisi lesehan di sampingku.
"Kayaknya enak banget lihat gaya kamu," katanya sebelum dia menyusulku duduk di karpet.
"Ryo, kamu itu aneh yah?" tiba-tiba suara Tia menyentakku.
"Aneh selanjutnya bagaimana maksud loe?" tanya saya asal sambil menirukan sebuah dialog sinetron Si Doel beberapa waktu yang lalu.
"Hihihihi.." terdengar Tia cekikikan mendengarnya.
"Ya aneh aja, Tia baru kenal kamu hari ini, tapi rasanya Tia udah kenal sama kamu lama banget," katanya lagi.
"Sampai Tia mau curhat sama kamu, padahal Tia paling jarang curhat, apalagi sama orang yang baru kenal."
"Sama, aku juga gitu kok Ya, jangan-jangan kami pernah ketemu di kehidupan sebelumnya yah?" jawab saya sambil nyengir.
"Ada-ada aja kamu.." katanya sambil tiba-tiba merebahkan kepalanya di bahu kananku.
Jujur saja saya cukup terkejut menerima perlakuannya, tapi santai saja, lagipula apalah yang mungkin terjadi dari sebuah bahu untuk menyandarkan kepala sejenak?
Cukup lama kami masing-masing terdiam dalam posisi ini sambil memandang sebagian horizon langit yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang dari jendela kamarnya. Sayup-sayup terdengar dari TV rintihan Sinnead O'Connor yang tengah menyanyikan lagu legendarisnya:
..I can eat my dinner in the fancy restaurant but nothing, I said nothing can take away this blue cos nothing compares, nothing compares to you..

Kami berciuman seakan-akan kami sepasang kekasih yang telah lama tidak berjumpa. Menumpahkan segala kerinduan dalam kehangatan sebuah ciuman. Perlahan saya raih pinggang Tia dan mendudukkannya dalam pangkuan. Kini kami semakin dekat karena Tia saya rengkuh dalam pangkuan saya. Saya usap lembut rambutnya, sedangkan dia memegang lembut pipiku. Ciuman bibirnya semakin dalam, seakan tidak pernah dia lepaskan. Cukup lama kami berciuman, sesekali terdengar tarikan nafas Tia yang terdengar begitu lembut. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mulai menurunkan bibir ke arah lehernya. "Ugh.." hanya terdengar lenguhan lembut seorang Tia ketika ia mulai merasakan hangatnya bibir saya menjelajahi lehernya. Tidak ada perlawanan dari aksi yang saya lakukan. Tia justru makin mendongakkan kepalanya, semakin memamerkan lehernya yang putih dan jenjang. Kedua tanggannya meremas seprai tempat tidur sebagai tumpuan. Saya pun semakin terhanyut terbawa suasana. Saya perlakukan Tia selembut mungkin, menjelajahi milimeter demi milimeter lehernya, mengusap rambutnya dan makin menekankan punggungnya ke arah tubuhku. "Ryo.. oohh.." lenguh Tia saat dia menyadari terlepasnya satu per satu kancing kemejanya. Ya.. saya memang melepaskannya untuk melanjutkan cumbuan saya kepadanya.


Kini saya mengulum pusarnya, seiring lenguhan-lenguhan kecil yang terdengar dari bibirnya. Perlahan saya mulai menurunkan kain terakhir yang menempel pada tubuh Tia. Terdengar sedikit nada terkejut Tia saat saya mulai menurunkan centi demi centi celana dalamnya menyusuri kedua kakinya hingga terlepas entah kemana. Seiring itupun, saya mulai menurunkan jilatan ke arah selangkangannya. "Ryo.. mau ngapain.. uugghh.." pertanyaan yang coba diajukan Tia tidak dapat diselesaikannya begitu dirasakannya sebuah jilatan mendarat di organ kewanitaannya. Permainan lidahku pada liang kewanitaannya memang saya usahakan selembut mungkin, hingga terkadang hanya sedikit saja ujung lidahku menyentuhnya. Namun hal ini malah justru memicu reaksi Tia semakin terbakar. "Ohh.. Ryoo.." lenguhnya panjang diiringi nafasnya yang semakin tidak beraturan.

Kini saya memandang wajahnya. Matanya yang terpejam sambil menggigiti bibirnya sendiri dan tangannya yang mencengkram seprai di tepian ranjang dengan kencang serta nafasnya yang tidak beraturan cukup untuk mengekspresikan betapa tingginya Tia terbuai dalam gelombang orgasme yang baru saja dilaluinya. Saya biarkan Tia meregang dirinya dalam detik demi detik puncak kenikmatan yang baru saja didapatnya untuk menyibukkan diri mencari sebuah benda yang "lubricated with nonoxynol 9, for greater protection" (If you were a great 17tahun2 fan, you should know this thing) yang selalu disisipkan di dompetku (my friend said that only bastards always bring this thing around. Yeah.. maybe I'm the one of them).
Tia baru membuka matanya ketika dirasakannya sebuah benda menempel lembut pada bibir organ kewanitaannya. Dibukanya matanya memandang lembut ke arah wajahku yang tepat berada di depan wajahnya. "Tia, may I..?" bisikku sambil mengecup keningnya. Tia hanya mengedipkan kedua matanya sekali sambil tetap memandangku. That's enough for me to know the answer of this question. Perlahan-lahan saya tekan kejantananku menerobos liang kewanitaannya. So gentle and smooth. Terdengar nafas Tia tertahan di tenggorokannya, menikmati sensasi mili demi mili penetrasi yang dilakukanku terhadapnya, hingga akhirnya keseluruhannya terbenam utuh. Kami terdiam dan saling berpandangan sejenak, menikmati bersatunya raga (dan hati) kami berdua. Saya kecup bibirnya lembut sebelum mulai melenakannya dalam sebuah percintaan yang sangat indah. Saya masih ingat persis, bagaimana kedua tangan kami saling bergenggaman erat di sisi tepi ranjang saat kami terus bergumul menyatukan hasrat dan raga kami. Betapa lembut buah dadanya menekan dadaku, dan betapa hangat melingkupi kejantananku yang terus memompanya, membawa kami semakin tinggi terbuai kenikmatan duniawi.
Entah berapa lama keadaan ini berlangsung, ketika pada saatnya terdengar Tia mulai mendekati orgasme keduanya. Tangannya merangkul pundakku, mendekap tubuhku erat seakan ingin mengajakku ikut dalam gelombang orgasmenya. Nafasnya makin memburu, terdengar jelas di telinga kananku. Saya pun meningkatkan kecepatan penetrasi untuk membantunya mendapatkan puncak kedua kalinya. "Eeegghh.. Ryoo.. aahh.." jerit Tia tertahan mencoba menyebut namaku saat gelombang orgasme keduanya benar-benar datang menggulungnya, menelannya kembali ke dalam jurang kenikmatan yang sangat dalam.

"You're so lovely tonight", bisikku padanya.
"Ryoo.. eh..!" teriaknya sedikit terkejut saat tiba-tiba saya menarik kedua tangannya untuk kemudian mendudukkannya dalam pangkuanku.
Punggungku bersandar di kepala ranjang, dan wajah kami saling memandang. Kami kembali berciuman. Perlahan kuangkat tubuhnya, untuk kembali menekankan kejantananku pada liang kewanitaannya. Walaupun kami tengah berciuman, masih sempat kudengar erangan lirihnya saat Tia merasakan bagaimana kejantananku perlahan menikam tubuhnya.
Kali ini kubiarkan Tia memegang kendali. Kubiarkan bagaimana dengan bebasnya Tia memompa diriku. Pundakku dijadikan tumpuan olehnya untuk terus menaik-turunkan tubuhnya di atasku. Saya hanya membantunya dengan meremas buah pinggulnya dan sedikit menaikkan posisi selangkanganku, hingga batangku terasa makin dalam menghujamnya. Ahh.. sungguh suatu pemandangan yang tidak akan terlupakan bagaimana melihat dirinya terus menyatukan raga kami ke dalam suatu persetubuhan yang sangat intim. Matanya yang terpejam, rambut sebahunya yang sudah mulai dibasahi keringat terurai bebas, bibirnya yang digigitnya sendiri dan tubuhnya yang berguncang-guncang. Ughh.. It's really a loveable thing to see.
Pemandangan yang sangat melenakan ditambah dengan kehangatan yang makin erat menghimpit kejantananku, menit demi menit mulai membuaiku ke dalam sensasi kenikmatan sebuah persetubuhan. Terasa sesuatu mendesak, menghimpitku untuk keluar dari dalam tubuhku. Oh My God, saya ras saya akan sampai puncaknya, pikir saya. "Ryoo.. I'm almost there.." bisik Tia lirih sambil mempercepat gerakan tubuhnya memompaku. "Yes.. babe, me too.." jawabku sambil mengecup erat bibirnya. Selanjutnya terasa bagaimana gelombang menuju puncaknya seakan berpacu dengan gelombang menuju puncakku. Goncangan tubuhnya makin terasa mendesak cairan kejantananku untuk keluar, sementara tikaman batangku semakin menghadirkan sensasi kenikmatan suatu orgasme yang hanya tinggal sejengkal dari raihannya. "Aaahh.. Ryoo.." jeritnya lirih memanggil namaku saat ternyata gelombang orgasme lebih dahulu menyapanya.
Saya masih sempat meneruskan tikaman kejantananku beberapa kali lagi hingga pada akhirnya..
"Tiaa.., aku keluaarr..!" teriakku sambil mendekap erat tubuhnya.
Terasa bagaimana derasnya cairanku menyembur keluar. Untung saya menggunakan kondom, masih sempat diriku berpikir di sela-sela gulungan ombak ejakulasi yang menenggelamkanku dalam suatu sensasi kenikmatan yang sangat dahsyat. Dalam beberapa saat ke depan kami hanya mampu berpelukkan erat, untuk kemudian bersisian rebah di ranjang.
"Thanks honey, you're so great.." bisikku sambil mengecup lembut bibirnya.
"Ahh.. Ryo.." lirih suaranya terdengar, seakan ingin mengatakan hal yang sama kepadaku.
Bandung, 12 Oktober 2000, 01.42 WIB

Tak terasa sudah lebih dari setengah jam kami berdua tertegun memandang jalanan sejak gelombang orgasme tersebut menelan kami berdua dan menenggelamkan hingga ke dasarnya.
"Ryo, Tia pengen mandi rasanya," tiba-tiba suara Tia mengejutkanku.
"Ya udah sana mandi," jawabku.
"Eh pintunya jangan dikunci yah, siapa tau ntar saya mau nyusul," godaku lagi.
"Huuh.. maunya," sahut Tia manja sambil menjentikkan telunjuknya di hidungku dan kemudian berlalu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Tanpa kusadar telah kulangkahkan kakiku ke arah kamar mandi untuk menyusul Tia. Krek.. terdengar pelan suara handle pintu kamar mandi yang kuputar. Hmm.. ternyata memang Tia tidak menguncinya, wah bandel juga nih anak, pikirku. Perlahan kubuka pintu untuk kemudian mendapatkan suatu pemandangan yang sangat memukau. Terlihat samar-samar dari belakang bagaimana Tia tengah menikmati pancuran air dari shower yang membilas lembut tubuhnya. Kaca penutup shower menghalangi pandanganku karena telah tertutup uap dari air hangat yang Tia gunakan. Entah mengapa pemandangan yang tersamar ini membangkitkan kembali gairahku. Terasa bagaimana kejantananku mulai menunjukkan reaksinya.

Setelah kurasa percumbuan kami cukup untuk kembali membuatnya bergairah, perlahan kutuntun batangku ke dalam liang kemaluannya. Sejenak terasa lembut dan hangat tatkala kejantananku menempel pada bibir liang kewanitaannya, sebelum kuhentakkannya menerobos hingga ke pangkal batangku. "Arrgghh.." jerit Tia tertahan ketika ia mulai merasakan dirinya sesak dipenuhi oleh desakan kejantananku. Saya mulai memompanya perlahan, keluar dan masuk. Tia membuka kedua kakinya lebar sambil kedua tangannya bertumpu pada kedua keran panas-dingin pada shower. Kami kembali bercinta, bergumul dalam desakan arus birahi yang memenuhi kepala dan tubuh kami. Kami bersetubuh di bawah siraman kehangatan shower yang terus menghujani tubuh kami tiada henti. Terdengar sayup-sayup deru nafas Tia diantara derasnya suara air yang tumpah keluar dari shower. Kulingkarkan tangan kananku di leher Tia ketika kudaratkan tangan kiriku untuk mempermainkan puting kanannya, sambil tentunya terus memompanya dari belakang.
Terus kutikamkan batangku ke dalam liang kemaluannya tiada henti. Menit demi menit berlalu, mengiringi persetubuhan kami yang sangat indah. Terasa bagaimana semakin ketatnya lubang kewanitaan Tia kian menghimpit kejantananku. Tiba-tiba kedua tangan Tia menjangkau tangkai shower yang terpaku pada dinding bagian atas kepalanya, mendongakkan kepalanya seraya melenguhkan erangan yang begitu menggairahkan perasaan, "Ryoo.. ahh.." Ternyata Tia kembali meraih orgasmenya yang menariknya kembali ke dalam kenikmatan yang bergulung-gulung mendera batinnya. Kudekap erat tubuhnya, menjaganya dari kelimbungan yang mungkin dapat saja menghempaskannya ke lantai marmer yang kami injak. Beberapa saat tetap kudekap erat tubuhnya, sampai pada saat akhirnya Tia mulai dapat menggerakkan dirinya sendiri. Kami sejenak bertatapan, perlahan kucium lembut bibirnya. "You're wonderful, Babe," pujiku saat dia mulai membuka matanya dan memandang ke arahku.

Terus kupompakan batang kejantananku untuk mencapai puncak ejakulasiku yang kedua dalam hari ini. Saya mencoba untuk menahannya selama mungkin, namun usahaku tidaklah banyak membawa hasil karena tidak berapa lama kemudian kupastikan bahwa benteng pertahananku tidak akan bertahan lama lagi. Sempat kuhujamkan beberapa kali lagi kemaluanku dalam liang kewanitaannya sebelum berteriak keras seraya menarik keluar batangku dan memuntahkan isinya, membajiri seluruh permukaan dada Tia.
"Ahh.. Aku keluaarr.." teriakku parau.
"Yes.. ehhmm.." erang Tia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, karena dirasakannya cairan kejantananku ternyata juga mendarat di wajah dan rambutnya.
Cukup lama kuregang diriku dalam orgasme yang sangat dahsyat, dimana Tia ikut membantunya dengan mengurut-urut batang kemaluanku, menghabisi cairan yang mungkin masih tersisa di dalamnya. Kucium bibirnya dalam sambil mengucapkan terima kasih atas klimaks yang baru saja saya dapatkan, sebelum akhirnya merebahkan diriku di sampingnya.
Bandung, 12 Oktober 2000, 04.48 WIB

Terasa dinginnya udara AC kamar menjalari tubuhku yang tidak ditutupi selembar kain pun saat kusingkapkan selimut untuk kemudian mencari pakaianku yang berserakan di lantai kamar yang ditutupi karpet bernuansa maroon. Kukecup lembut kening Tia saat telah lengkap saya berpakaian. Terdengar lirih suara Tia saat dia mulai tersadar sedikit demi sedikit dari tidurnya. Kukecup bibirnya saat dia benar-benar telah membuka matanya, memandangku dengan suatu tatapan yang sangat sulit ditebak artinya. Tatapan sayangkah itu?
Jam mobilku menunjukkan pukul 05.21 WIB ketika dengan santai kukendarai mini jeep-ku membelah jalan Asia Afrika yang masih lengang sambil mendengarkan musik yang mulai dimainkan radio-radio swasta yang mulai mengudara. Saya memang harus segera pergi dari sisi Tia, setidaknya untuk hari ini, karena dia akan kembali ke Jakarta dengan rombongannya setelah breakfast nanti. Pasti suatu pemandangan yang tidak lucu jika teman-teman yang menyusul ke kamarnya, menemukan kami sedang tidur berpelukkan tanpa busana sama sekali.

Dalam hati saya masih sedikit terbersit harapan untuk tetap melanjutkan hubungan ini. Masih terasa bagaimana Tia mengecup lembut bibirku saat dia melepasku di pintu kamarnya. As I said before, everything seems so right when we're together. Is she the Miss. Right for me after I've been looking for all over places? Why do I feel that she's the one, eventhough I have known her only by day. Biarlah waktu yang menjawabnya, karena orang bijak berkata hanya waktulah yang dapat secara pasti menentukan apa yang akan kami jalani di masa depan, sepasti sinar matahari yang selalu menyapa penduduk bumi setiap pagi.
Seperti saat ini, dimana sinar matahari yang pertama jatuh menemani perjalananku menembus lengangnya jalanan kota ini.