
Anna dan Dicky menyiapkan jamuan makan mewah, sebab masakan yang dipesan dari salah satu restoran mahal di bilangan Jakarta ini. Dengan mengenakan celana panjang coklat tua dan kaos berleher berwarna coklat muda, aku tiba di rumah mereka pukul 18:00 WIB dan melihat Sinta telah ada di sana.
Dicky mengenakan celana panjang hitam dan hem biru muda bertangan pendek. Anna mengenakan gaun warna biru muda, seperti warna hem suaminya, agak ketat membungkus tubuhnya yang seksi, gaun itu tergantung di pundaknya pada dua utas tali, sehingga memperlihatkan sebagian payudaranya.
Sinta tak ubahnya seorang putri, memakai gaun berwarna merah muda, ketat menampilkan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggairahkan, juga dengan belahan dada agak rendah dengan potongan setengah lingkaran. Keduanya seolah-olah ingin menunjukkan keindahan payudaranya di depanku dan Dicky untuk menyatakan payudara siapa yang paling indah.

Kami berempat duduk di ruang makan menikmati jamuan yang disediakan tuan rumah. Hidangan penutup dan buah-buahan segar membuat kami sangat menikmati jamuan tersebut. Dari ruang makan, kami beranjak ke ruang keluarga. Anna menyetel musik klasik, sedangkan Dicky mengambil minuman bagi kami, ia menuangkan tequila buat Anna dan Sinta, sedangkan untuknya dan aku, masing-masing segelas anggur Prancis, agak keras kurasa alkoholnya.
Rona merah membayang pada wajah mereka bertiga, dan kupikir demikian juga denganku, akibat pengaruh minuman yang kami teguk. Percakapan kami yang semula ringan-ringan di seputar kerja dan kuliah Sinta makin beralih pada hal-hal erotis, apalagi waktu Anna melihat ke arahku dan berkata, “Wah, pengaruh anggur Prancis sudah membangunkan makhluk hidup di paha Agus. Lihat nggak tuh Sin?” Sinta menengok ke bagian bawah tubuhku dan membandingkan dengan Dicky, “Lho, yang satu ini pun sudah mulai bangkit dari kubur, hi… hi….hi…” Sinta yang duduk di dekatku menyenderkan kepalanya pada bahu kananku.
Anna mengajak suaminya berdiri dan berdansa mengikuti irama lagu The Blue Danube-nya Strauss. Entah pernah kursus atau karena pernah di luar negeri, mereka berdua benar-benar ahli melakukan dansa. Setelah lagu tersebut berlalu, terdengar alunan Liebestraum. Dicky melepaskan pelukannya pada pinggang Anna dan mendekati Sinta, lalu dengan gaya seorang pangeran, meminta kesediaan Sinta menggantikan Anna menemaninya melantai, sementara Anna mendekatiku.
Aku yang tak begitu pandai berdansa menolak dan menarik tangan Anna agar duduk di sampingku memandang suaminya berdansa dengan keponakannya. Rupanya Sinta pun tidak jelek berdansa, meskipun tak sebagus Tantenya, ia mampu mengimbangi gerakan Dicky.

Tatapan Sinta semakin sayu mendapati dirinya dipeluk Dicky sambil dimesrai begitu. Lalu bibir Dicky turun ke dagu Sinta, menciumi lehernya. Kami dengar desahan Sinta keluar dari bibirnya yang separuh terbuka. Lalu ia dengan masih berada pada pelukan Dicky di pinggangnya, mengarahkan ciuman pada bibir Dicky. Mereka berpagutan sambil berpelukan erat, kedua tangan Dicky melingkari pinggul Sinta, sedangkan kedua tangan Sinta memeluk leher Dicky. Permainan lidah mereka pun turut mewarnai ciuman panas itu.
Dicky lalu membuka gaun Sinta hingga terbuka dan melewati kedua pundaknya jatuh ke lantai. Kini Sinta hanya mengenakan kutang dan celana dalam berwarna merah muda. Tangan Sinta ikut membalas gerakan Dicky dan membuka hemnya, kemudian kulihat jari-jarinya bergerak ke pinggang Dicky membukai ikat pinggang dan risleting celana Dicky. Maka terlepaslah celana Dicky, ia hanya tinggal memakai celana dalam.
Lalu jari-jari Sinta bergerak ke belakang tubuhnya, membuka tali kutangnya, hingga menyembullah keluar kedua payudaranya yang sinta. Keduanya masih saling berpelukan, melantai dengan terus berciuman. Namun tangan keduanya tidak lagi tinggal diam, melainkan saling meraba, mengelus; bahkan tangan Dicky mulai mengelus-elus bagian depan celana dalam Sinta.
Sinta mendesah mendapat perlakuan Dicky dan mengelus-elus penis Dicky dari luar celana dalamnya, lalu dengan suatu tarikan, ia melepaskan pembungkus penis tersebut sehingga penis Dicky terpampang jelas memperlihatkan kondisinya yang sudah terangsang. Dicky mengarahkan penisnya ke vagina Sinta dan melakukan tekanan berulang-ulang hingga Sinta semakin liar menggeliatkan pinggulnya, apalagi ciuman Dicky pada payudaranya semakin ganas, dengan isapan, remasan tangan dan pilinan lidahnya pada putingnya.

Lalu perlahan-lahan ia masukkan penisnya ke vagina Sinta dan mulai melakukan tekanan, maju mundur, sehingga penisnya masuk keluar vagina Sinta. Anna yang duduk di sebelah kiriku terangsang melihat Dicky dan Sinta, lalu mencium bibirku. Kubalas ciumannya dengan tak kalah hebat sambil mengusap-usap punggungnya yang terbuka. Anna memegangi kedua rahangku sambil menciumi seluruh wajahku, lidahnya bermain di sana-sini, membuat birahiku semakin naik, apalagi ketika lidahnya turun ke leherku dan dibantu tangannya berusaha membuka kaosku. Kuhentikan gerakannya meskipun ia membantah, “Ayo dong Gus?” “Tenang sayang …. ” kucium bibirnya sambil menunduk dan dengan tangan kiri menahan lehernya, tangan kananku mengangkat kakinya hingga ia jatuh ke dalam boponganku dan kugendong menuju kamar tidur mereka.
Kami tak pedulikan lagi Dicky dan Sinta yang semakin jauh saling merangsang. Kurebahkan tubuhnya di ranjang dan kubuka seluruh pakaianku.
“Cepet banget Gus, udah sampai ke ubun-ubun ya sayang?” tanya menggoda sambil berbaring.
“Udah berapa minggu nich, kangen pada tubuhmu …” jawabku sambil mendekati dirinya.
Kembali kulabuhkan ciuman pada bibirnya sambil jari-jariku mengelus pundaknya yang terbuka sambil membukai kedua tali di pundaknya. Lidahku mencari payudaranya dan mengisap putingnya. Isapan mulutku pada putingnya membuat Anna mengerang dan menggelinjang, apalagi ketika sesekali kugigit lembut daging payudaranya dan putingnya yang indah, yang sudah tegang.

Apalagi ketika Anna menindih tubuhku dari atas dengan posisi kepala tepat pada pahaku dan mengerjai penisku dengan ganasnya. Vaginanya yang tepat ada di atas wajahku kuciumi dan kujilati, klitorisnya kukait dengan lidah dan kugunakan bibirku untuk mengisap klitoris yang semakin tegang itu. Setelah tak tahan lagi, Anna segera bangkit lalu menungging di depanku. Rupanya ia mau minta aku melakukan doggy style posisi yang sangat ia sukai.
Dari ruang keluarga, kudengar rintihan Sinta dan erangan Dicky. Mungkin mereka sudah semakin hebat melakukan persetubuhan. Kuarahkan penisku ke vagina Anna. Kugesek-gesekkan kepala penis hingga ia kembali merintih, “Guuussss, jangan permainkan aku! Ayo masukin dong, aku nggak tahan lagi, sayaaaanngg!” pintanya. Penisku mulai masuk sedikit demi sedikit ke dalam vaginanya.
Kupegang pinggulnya dan memaju-mundurkan tubuhnya mengikuti alunan penis masuk keluar vaginanya. Sekitar lima menit kulakukan gerakan begitu, ia belum juga orgasme, begitu pula aku. Kemudian kuraba kedua payudaranya yang menggantung indah dari belakang. Kuremas-remas sambil merapatkan dadaku ke punggungnya. Ia mengerang, mendesah dan merintih. “Ahhhh ….. sshsshh, ouuughhhh, nikmatnyaaaa …… sayangkuuuuu. ….” Mendengar suaranya dan merasakan geliat tubuhnya di bawah tubuhku, membuatku makin terangsang. Lalu kutarik kedua tangannya ke belakang tubuhnya.
Kupegang lengannya dengan sentakan kuat ke arah tubuhku hingga ia mendongakkan kepalanya. Kedua tangannya berusaha menggapai payudaranya dan meremas-remas payudaranya sendiri. Kami berdua kini dalam posisi bertelekan pada lutut masing-masing, agak berlutut, ia tidak lagi menungging, penisku membenam dalam-dalam ke vaginanya. Rintihan Anna semakin tinggi dan saat kuhentakkan beberapa kali penisku ke dalam vaginanya, ia menjerit, “Aaaaahhhhhh ….. oooooggghhh …..” Penisku terasa diguyur cairan di dalam.

Tanpa sadar, aku tertidur, juga Anna. Aku terjaga ketika merasakan ciuman pada bibirku. Kubalas ciuman itu, tetapi aromanya berbeda dengan mulut Anna. Kubuka kelopak mataku, kulihat Sinta masih telanjang membungkuk di atas tubuhku sambil menciumi aku. Mataku terbuka lebar sambil memagut bibirnya memainkan lidahku di dalam mulutnya, ia membalas perlakuanku hingga lidah kami saling berkaitan. Sedangkan Dicky kulihat mendekati Anna dan menciumi payudara istrinya.
Anna menggeliat dan membalas ciuman dan pelukan suaminya. Tangannya mengarah ke bagian bawah tubuh Dicky meraih penis suaminya yang sudah melembek. Ia rabai dan kocok penis itu, hingga kuperhatikan mulai bangun kembali. Sinta yang semula hanya menciumi bibirku dan memainkan lidahnya, menurunkan ciumannya dan mencari dadaku, di sana putingku diciumi dan digigitnya lembut. Lama-lama gigitannya berubah semakin buas, hingga membuatku merintih sakit bercampur nikmat,
“Kenapa, sayang? Sakit ya?” tanyanya menghentikan permainannya sambil menatapku.
Aku menggelengkan kepala dan memegang kepalanya agar kembali meneruskan ulahnya. Lidahnya kembali terjulur dan bermain di putingku bergantian kiri dan kanan. Setelah itu, ia turunkan ciumannya ke penisku yang masih ada sisa-sisa sperma dan cairan vagina Anna. Ia lumat dan masukkan penisku ke dalam mulutnya.
Penis yang sudah lembek itu kembali tegang mendapat perlakuan mulutnya. Tangannya memegang pangkal penisku melakukan gerakan mengocok. Bibirnya dan lidahnya juga bermain di testisku dan “Uuuuhhhh ….” aku mendesah, sebab kini lidahnya menjilati analku tanpa rasa jijik sedikit pun. Setelah itu kembali mulutnya bermain di testisku dan memasukkan kedua testis itu bergantian ke dalam mulutnya. Sedotan mulutnya membuat birahiku kembali muncul. Sementara rintihan Anna kembali terdengar.

Dicky masih terus menciumi paha isterinya ketika anna memegang rambut Dicky dan meminta Dicky menciumi payudara isterinya, sedangkan penis buatan sudah ia arahkan ke vagina Anna. Dicky menoleh sekilas ke arah Sinta, tetapi ia tidak menolak dan meremas-remas payudara istrinya sambil menciumi dan memilin putingnya. Desahan Anna semakin kuat disertai geliat tubuhnya, apalagi saat dildo Sinta mulai memasuki vaginanya yang kembali basah.
Sinta kemudian memaju-mundurkan tubuhnya hingga dildo itu masuk keluar vagina Anna. Anna mengerang dan meracau dengan tatapan mata sayu. Kudekati wajahnya dan kupagut bibirnya sambil turut membelai payudaranya membantu suaminya yang masih terus meremas dan menciumi payudaranya.
Beberapa saat dengan posisi itu, membuat Anna kembali naik birahi. Sinta kemudian membalikkan tubuhnya ke samping sambil memegangi pinggang Anna agar mengikuti gerakannya. Aku membantu gerakannya dan menggeser tubuh Anna hingga kini berada di atas tubuh Sinta dengan dildo Sinta yang tetap menancap pada vagina Anna. Anna yang ada di atas Sinta kini, menduduki perut Sinta sambil melakukan gerakan seakan-akan sedang menunggang kuda.

Lalu setelah cukup pelumas, kumasukkan penisku ke dalam analnya. Kugerakkan penisku maju mundur, sedangkan Anna dan Sinta saling berciuman, dan Dicky meremas-remas payudara kedua perempuan itu bergantian. Rintihan kedua perempuan itu semakin kuat terdengar.
Mungkin karena merasa tindihan dua tubuh di atasnya agak berat, Sinta agak megap-megap kulihat, sehingga kuajak mereka berdua melakukan gerakan ke samping. Aku kini berbaring terlentang. Penisku yang tegang dipegangi tangan Anna dan diarahkannya masuk ke dalam analnya sambil merebahkan tubuhnya terlentang di atasku. Lalu Sinta kembali berada di atas tubuh Anna memasukkan dildo pada pangkal pahanya ke dalam vagina Anna. Gerakan Sinta kini aktif, berganti dengan aku yang pasif pada anal Anna.
Tak lama kemudian Anna orgasme disertai rintihan panjangnya. Kupeluk ia dari bawah, sedangkan bibirnya diciumi oleh Sinta dengan ganasnya. Dicky masih terus meremas-remas payudara kedua perempuan itu. Lalu Sinta mencabut penis buatan dari vagina Anna dan berbaring di sampingku, sementara Dicky meletakkan tubuhnya di samping Sinta sambil memeluk tubuh Sinta dan mencium bibirnya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Anna bangun dari atas tubuhku dan membuka tali yang mengikat dildo pada pinggang Sinta. Diperlakukan seperti tadi, rupanya membuat Anna juga ingin mencoba apa yang dilakukan oleh Sinta terhadap dirinya. “Mas, Gus, pegangi tangan dan kaki Sinta. Yuk buruan, jangan berikan kesempatan buat dia!” katanya memerintah kami berdua.
Sinta yang masih kecapekan karena mengerjai Anna tadi mencoba meronta-ronta ketika tanganku memegangi kedua tangannya dan mementangkan lebar-lebar, sedangkan Dicky memegangi kedua telapak kakinya sehingga kedua paha dan kakinya terpentang lebar.
“Ah, Tante curang, masak pake pasukan mengeroyok ponakannya …” katanya protes.

Ia lalu menundukkan wajahnya menciumi dan menjilati vagina Sinta. Sinta benar-benar tidak bisa berkutik, meskipun ia menggeliat-geliat, apalah artinya, sebab tangan dan kakinya dipegangi oleh dua lelaki dengan kuatnya. Puas menciumi vagina Sinta, Anna mengangkangkan pahanya di luar paha Sinta, lalu menujukan dildo pada pahanya ke dalam vagina Sinta.
Setelah dildo tersebut masuk, kedua pahanya bergerak ke arah dalam ke bawah kedua paha Sinta, sehingga kedua paha Sinta semakin rapat mengunci dildo yang sudah masuk dengan mantap ke dalam vaginanya. Sedangkan di bawah, kedua tungkainya mengunci kedua tungkai Sinta. Kini tanpa dipegangi oleh tangan Dicky pun, kaki Anna sudah mengunci paha dan kaki Sinta dengan ketatnya.
Mulut Anna mengarah pada payudara Sinta dan melumat habis kedua payudara keponakannya. Sedangkan aku, sambil mementangkan kedua tangan Sinta, mencium bibirnya dan memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Sesekali kuangkat wajahku dan berciuman dengan Anna.
Erangan Sinta yang tak menduga serangan Tantenya semakin dahsyat, terdengar semakin berubah menjadi rintihan. Apalagi Tantenya semakin cepat menggerakkan dildo ke dalam vaginanya. Beberapa kali ia malah menghentakkan dalam-dalam dildo tersebut ke vagina Sinta. Mungkin karena sudah sering melihat bagaimana gerakan penis suaminya atau penisku masuk keluar vaginanya, ia pun tergoda untuk melakukan aksi serupa. Cuma sekitar lima menit diserang begitu, Sinta tak kuasa lagi bertahan,
ia merintih lirih, “Tante Annnnaaaaa, aku dapet ….. aaahhhhhh …… nikmattt …… sssshhhhh .…… ooouuugghhh ….. aaaakkkhhh.”
Anna masih terus merojok vagina Sinta, hingga Sinta memaksaku melepaskan kedua tangannya dan menolakkan tubuh Tantenya,
“Tante, udah dong, bisa pecah ntar memiawku!! Ahhh … sadis deh Tante!!” katanya.
Aku dan Dicky mengambil tempat di samping mereka berdua. Setelah itu, Anna memintaku menyetubuhinya dengan posisi ia di atas dan aku berbaring di bawah, kemudian ia minta lagi Sinta untuk memakai penis buatan tadi ke dalam analnya lalu meminta penis suaminya untuk ia lumat habis-habisan.
Sinta yang ingin membalas perbuatan Tantenya, tidak menolak. Dengan cepat diikatkannya tali dildo itu dan menyerang anal Tantenya. Rintihan Anna kembali terdengar di sela-sela lumatan bibir dan mulutnya pada penis suaminya. Dicky masih mau diperlakukan demikian beberapa kali, tetapi mungkin karena tak tahan melihat ada vagina menganggur, ia kemudian mendekati bagian bawah tubuh kami dan kulihat mengusap-usap pantat Sinta.
Lalu ia memasukkan penisnya ke dalam vagina Sinta. Empat tubuh telanjang berkeringat kini saling bertindihan. Dicky paling atas menyetubuhi Sinta, sementara Sinta dengan dildo-nya mengerjai vagina Anna, dan aku paling bawah mengerjai anal Anna dengan penisku yang tegang terus.
Sprey ranjang sudah acak-acakan oleh tingkah kami berempat, tapi kami tak peduli lagi pada kerapihan. Masih dengan napas tersengal-sengal, Sinta membisikkan sesuatu ke telinga Dicky. Dicky yang sudah melepaskan dirinya dari tubuh Sinta, memeluk tubuh istrinya melepaskan analnya dari hunjaman penisku.
Sinta kemudian mendekati aku dan berbisik, “Gus, kita kerjai Tante lagi yuk?
Sekarang coba masukin penis kalian berdua ke memiawnya, ntar aku bantu dengan dildo pada analnya.”
Wah ide yang unik, pikirku
sambil mengangguk. Kemudian kuraih tubuh Anna,
“Ada apa sich Gus, aku masih capek sayang!” Tapi penolakannya tak kuhiraukan.

Penisku yang masih berada di dalam vagina Anna, bergesekan dengan penis Dicky yang mulai menyeruak masuk keluar ke dalam. Mata Anna yang tadinya sayu mendapat seranganku, membeliak merasakan nikmat akibat dimuati dua penis pada vaginanya. Ia tak kuasa melawan walaupun semula merasa vaginanya begitu padat dimasuki dua penis sekaligus. Kemudian kulihat Sinta memperbaiki letak dildo yang masih ia kenakan. Lalu dengan hati-hati ia menempatkan dirinya di antar tubuh Dicky dan pantat Anna.
Dicky memberikan ruang gerak padanya dengan mencondongkan tubuhnya ke arah belakang dan menahan berat badannya dengan kedua tangannya, sehingga Sinta bebas memasukkan dildo ke dalam anal Anna. Aku dan Dicky menghentikan gerakan dengan tetap membiarkan kedua penis kami berada di dalam vagina Anna. Begitu dildo Sinta masuk ke dalam analnya, Dicky mulai menggerakkan penisnya lagi, merasakan gerakan itu, aku mengikuti irama mereka berdua.
Rintihan Anna meninggi saat dildo Sinta memasuki analnya bersamaan dengan kedua penis kami. Kututup rintihannya dengan mencium bibir Anna. Ia memagut bibirku dengan kuat, bahkan sempat menggigit bibirku dan mengisap lidahku kuat-kuat. Mungkin pengaruh desakan dua penis sekaligus pada vaginanya dan penis buatan pada analnya, membuat Anna melayang-layang mencapai puncak kenikmatan yang lain dari biasanya.
Ia tidak lagi mengerang atau mendesah, melainkan merintih-rintih dan bahkan sesekali menjerit kuat. “Auuuhhh …. Ooooohhhhh …. gila ….. kalian bertiga benar-benar gila! Uuuukhhhh ….. sssshhhhh ….. aakkkkhhhh …..” rintihnya sambil
menggeliat-geliatkan tubuhnya menerima serangkan kami bertiga. Pagutan bibirku menutup rintihannya dengan lilitan lidah yang menjulur memasuki rongga mulutnya. Sinta merapatkan tubuhnya ke punggung Tantenya dan kedua tangannya bergerak meremas-remas kedua payudara Tantenya.

Ia kemudian memusatkan pikiran pada gerakan penisnya yang semakin cepat kurasakan bergesekan dengan penisku di dalam vagina Anna yang sudah semakin becek. Rintihan Anna semakin tinggi berubah menjadi jeritan. Ia memiawik-mekik nikmat, ketika mencapai orgasme. Dicky menyusul menghentakkan penisnya kuat-kuat ke dalam vagina istrinya, tapi kedua tangan Anna menahan pantat suaminya, agar tetap melabuhkan penisnya di dalam vaginanya. Ia seakan tidak rela penis kami keluar dari vaginanya, meskipun ia sudah orgasme.
Tak lama kemudian, suaminya menyerah, mencabut penisnya. Aku masih bertahan dan meminta Sinta berbaring dengan Tantenya terlentang di atas tubuhnya dan dildo yang dipakainya ia masukkan ke anal Anna, sementara aku menancapkan penisku ke vagina Anna. Meskipun Sinta berada di bawah tubuh Tantenya, tubuh Anna kupegangi agar tidak membebani Sinta.
Kuraih pundaknya agar merapat ke tubuhku. Tangan Anna bermain di kedua payudara Sinta sambil menikmati hunjaman dildo Sinta pada analnya dan penisku pada vaginanya yang barusan sudah mencapai kenikmatan. Dicky berbaring di sisi Sinta sambil membantu Anna membelai dan meremas-remas payudara Sinta dan sesekali mencium bibir Sinta. Tangan Dicky bermain di bagian bawah tubuh Sinta, rupanya ia mengorek-ngorek vagina Sinta, hingga gadis itu tidak hanya menancapkan dildo ke vagina Tantenya, tetapi juga menaiki anak tangga kepuasan oleh permainan tangan Dicky.
Sinta menggeliat-geliat di bawah dengan dildo¬-nya menancap dengan dalam pada vagina Anna, sambil menikmati ulah jari-jari Dicky pada vaginanya. Rintihan Sinta semakin kuat bercampur dengan jeritan Anna yang kuserang habis-habisan dengan gerakan sekuat-kuatnya dan sedalam-dalamnya membenamkan penisku ke dalam vaginanya.
Rupanya saking nikmatnya multiorgasme yang ia rasakan, tanpa terasa air matanya menetes. Tentu saja air mata bahagia. Kukecup kelopak matanya menciumi air matanya dan bibirku turun ke bibirnya, melakukan kecupan yang liar dan panas. “Ooooooooogggghhhhhhhh ….. Gussssss ……. Uuuhhh ……. Ssssshhhhh …. Sintaaaaa …… nikmatnyaaaaaahhhhhhh …… Aaaahhhhhh!!!” teriakannya terdengar begitu kuat sambil menekankan vaginanya kuat-kuat ke penisku.
Seperti biasanya kalau ia mencapai orgasme yang luar biasa, air seninya ikut muncrat bersamaan dengan cairan vaginanya. Semprotan cairannya membasahi penisku, sela-sela paha Sinta dan sprey di bawah kami. Mulutnya menolak mulutku dan menggigit pundakku hingga terasa giginya menghunjam agak perih di kulitku. Dari bawah kulihat Sinta juga semakin kuat menekan dildo ke anal Anna. Sinta pun merintih, “Tanteeeee ….. aku …. juga dapeetttt nicchhhh ….. oooohhh, jari-jarimu lincah benar Oooommmm …..” pujiannya keluar memuji perbuatan Dicky terhadap dirinya.
Dicky mencium bibir Sinta dan mengelus-elus payudaranya. Terakhir, aku menghentakkan penisku sedalam-dalamnya dan sambil mengerang nikmat, muncratlah spermaku memasuki vagina Anna. Kutarik tubuh Anna berbaring di atas tubuhku yang berbaring terlentang, sedangkan Sinta memeluk Dicky yang menindih tubuhnya sambil terus berciuman dan memasukkan jari-jarinya sedalam-dalamnya ke dalam vagina Sinta yang pahanya sudah merapat satu sama lain dan menjepit jari-jari dan tangan Dicky dengan kuatnya.
Napas Anna, Sinta dan aku yang terengah-engah semakin mereda sambil mencari posisi yang enak untuk berbaring. Kuamati payudara kedua perempuan itu sudah merah di sana-sini, akibat ciuman dan gigitan Dicky, aku dan mereka berdua satu sama lain.

” Kuelus-elus rambutnya sambil berkata, “Tak apa, sayang. Ntar juga cepat sembuh koq, apalagi sudah kau obati dengan ludahmu.” kataku sambil mengelus rambutnya
Setelah itu, kami berempat terbaring nyenyak setelah beberapa jam main tak henti-hentinya. Kami baru bangun ketika matahari sudah naik tinggi dan jarum jam dinding menunjuk pukul 11.00 WIB. Kami mandi berempat di kamar mandi. Bathtub yang biasanya hanya dimuati satu atau dua tubuh orang dewasa, kini menampung tubuh kami berempat yang sambil berciuman, menggosok, meraba dan meremas satu sama lain, tetapi karena tenaga kami sudah terkuras habis, kami tak main lagi pagi itu.

Tepukan tangan Dicky dan Anna memuji kekuatan kami berdua mengakhiri persetubuhan kami berdua, lalu Anna membersihkan penisku yang dilelehi cairan vagina dan anal Sinta serta spermaku, sedangkan Dicky membaringkan tubuh Sinta di sofa panjang dan membersikan vaginanya dengan bibir dan lidahnya. Pelayanan kedua suami istri itu benar-benar luar biasa terhadap keponakannya, Sinta dan aku.